Header Ads

ads header

Agama Sebagai Bibit Radikalisme?

Sumber: https://kiblat.net
Miris juga ketika kita dengar-dengar agama sebagai bibit dari adanya aksi radikalisme, terorisme dan peperangan. Bagi kalangan orang ateis itu yang menyebabkan mereka benci dengan adanya agama. Agama sebagai letak sebuah perpecahan manusia dengan berbagai keyakinan yang berbeda, agama dianggap sebagai ketidak-adilan antar umat manusia dengan membeda-bedakan, membuat manusia menjadi terbatas hidupnya melakukan segala hal.

Teringat dengan adanya bom bunuh diri, yang mana itu terjadi di Indonesia bertempat di hotel JW. Marriot Jakarta dan Hotel Logun di Bali, yang menewaskan banyak korban orang Asing dan Indonesia yang berwisata. Kejadian tersebut mengawali sebuah pandangan negatif tentang agama Islam. Mereka menganggap bahwa Islam adalah teroris. Sehingga orang barat pun sangat terhadap orang Islam.

Tak hanya di Indonesia saja, melainkan di dunia internasional yang berlangsung sejak 2001-2005, antara lain: Ledakan bom di stasiun kereta api Madrid, Spanyol (11 Maret 2004); Ledakan bom di tiga kereta bawah tanah dan satu bus di Inggris (7 Juli 2005); Ledakan 12 bom bunuh diri di Casablanca, Maroko (16 Mei 2003); dan Ledakan bom di masjid kaum Syi’ah di Karachi, Pakistan (7 Mei 2004); yang lagi-lagi mengatasnamakan Islam sebagai pemyebab aksi tersebut.

Apalagi akhir-akhir ini munculnya gerakan radikalisme yang mengatas-namakan Islam. Islam bergaris keras, yang selalu bertendensi dengan jihat dalam memperjuangkan agama Allah, memusuhi orang kafir dengan terus membuat pertikaian di anatara umat manusia. Padahal, cara yang seperti itu merupakan cara tidak pas untuk menyebarkan agama Allah. Tidak harus dengan aksi yang bersifat radikal, apa lagi membuat kilafah baru di sebuah negara. Itu adalah tindakan yang konyol, istilah hemat bagi penulis.

Islam merupakan agama yang rohmatal lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia), pembawa kedamain tak hanya bagi umat muslim saja, melainkan seluruh umat manusia yang ada di Bumi. Islam muncul sebagai agama terakhir untuk penyempurna seluruh agama yang datang sebelum Islam. Seperti halnya Islam yang ada di Indonesia terkenal dengan Islam yang lemah lembut, tidak berwatak keras dan apalagi dengan berbagai ragam yang berbeda baik dari agama maupun suku dan ras.

Namun hati merintih pilu, ketika Islam, yang ada di Indonesia khususnya, menjadi Islam yang bergaris keras, agresif, selalu menggunakan agama sebagai alat untuk kepentingan kelompok, sehingga terjadi ketidaknyamanan bagi umat muslim sendiri. Terlebih bagi kaum muslim yang awam tentang adanya pengetahuan. Menjadikan mereka timbul sebuah pertayaan yang besar, apakah Islam seperti ini, selalu mempersulit dan menekankan dengan apa yang dilakukan pada zaman Rasulullah?

Terlintas dalam benak penulis, Islam merupakan agama selalu bersifat tengah-tengah. tidak memihak ke kanan dan ke kiri. Dan Islam bisa dikatakan elastis, dapat bertempat di segala tempat, tanpa merubah kebiasan adat setempat. Sebagai contoh saja Islam yang berkembang di bumi Indonesia, sangatlah beragam. Islam berkembang menyesuaikan dengan tempat atau daerah berada, misalnya Islam orang Jawa dengan Islam orang Sumatra pastilah berbeda, namun tidak mengubah identitas asli Islam sendiri.

Perkembangan agama Islam di Indonesia terkenal dengan cara mengakulturasi dengan budaya setempat dengan tidak mengubah esensi Islam sendiri, melalui perpaduan budaya dengan agama sehingga Islam mudah masuk di bumi Nusantara. Dan melalui cara begitu, masyarakat Indonesia dengan senang hati, mau menerima agama Islam. Padahal, dulu sebelum adanya Islam, masyarakat Indonesia memeluk agama Hindu dan Budha, terlebih di jawa. Mengingat hal semacam ini tak lepas dari  upaya yang dilakukan oleh wali songo yang dengan cara penyebaran seperti penulis sebutkan.

Perlu diketahui dan difahami, bahwa adanya masyarakat mau masuk Islam dengan kehendak dan keinginan dari pribadi. Tidak adanya pemaksaan, apalagi dengan cara radikalisme maupun fundementalisme, bahkan berujung pada peperangan. Itulah yang  menjadi kunci mendasar Islam sampai sekarang menjadi agama mayoritas dan tetap eksis di Indonesia. Berbeda dengan penyebaran Islam di Eropa dan lainnya yang kini tinggal menjadi kenangan saja.

Menengok dari sejarah, betapa besarnya kekuasaan Islam pada waktu itu. Bahkan, seluruh aspek dikuasai oleh Islam, baik dibidang keilmuan, politik, pemerintah, dan budaya. Perkembangan Islam berkembang sangat pesat. Namun, dengan seiringnya waktu, Islam mulai hancur, karena adanya perlawanan secara diam-diam dari golongan non Islam sebagai wujud ketidak-terimaan mereka terhadap Islam atas penyerangan dan melakukan penindasan demi untuk kekusaan.

Dari sepenggal cuplikan mengenahi sejarah atau bentuk penyebaran Islam, dapat dilihat dengan jelas perbedaanya. Menyebarkan agama dengan cara baik dan tidak memberontak, bahkan tidak dengan cara radikal, itu akan membentuk suatu kesan yang positif. Sehingga agama dapat mengakar dan tumbuh dikalangan masyarakat maupun negara. Lain halnya jika agama datang dengan cara radikal maupun funndamentalis, pasti yang ada pertikaian tak kunjung usai antar agama, bahkan negara.

Akhir dari curahan hati penulis, jadikanlah agama sebagi pentunjuk untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, bukan sebagai pembunuh. Agama bukan sebagai alat untuk melemahkan, apa lagi memberi ketidaknyamanan bagi yang lain. Perbedaan agama itu pasti, Allah telah menggariskan semua itu. Disini tidak membahas yang benar dan salah, karena semua sudah jelas, apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, mengenahi perbedaan agama, suku, ras, budaya, bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain, menciptakan kehidupan yang rukun dan damai.[*]

*Penulis
Muhammad  Syaifudin
Waka Dakwah PAC IPNU Ngronggot Periode 2016-2018

Judul Asli: Agama Sebagai Petunjuk, Bukan Pembunuh
Editor : Syarif Dhanurendra

No comments

Powered by Blogger.