Header Ads

ads header

Kabar Kenyataan Antroposentrisme Nalar

Ilustrasi: https://depositphotos.com
Teringat dengan Galileo yang menyeru kepada masyarakat pad zaman-nya bahwa bukan bumi yang dikelilingi matahari tetapi mataharilah yang dikelilingi bumi. Saat itu gereja dan kerajaan sedang akrab menjalin hubungan dan pembentukan pusat pengetahuan, dan pernyataan Galileo berbalik dengan pendapat yang difatwakan gereja. Tentu saja, kepanikan menjalar. Pro dan kontra masyarakat mencuat keras. Demi wibawa gereja, Galileo dihukum taheanan rumah hingga meninggal (secara misterius).

Perlu diketahui juga, jika kita ingat dengan Abad XVI adalah abad renaissance Eropa. Kematian Galileo membuka kesadaran baru tentang kebenaran nalar manusia. Rene Descartes (1596-1650), seorang yang lebih paham kondisi kekerasan zaman, mengambil jalan yang lebih melingkar.

Jika kita teringat kata, Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) merupakan suatu kalimat kunci Descartes yang menasbihkan bahwa manusia ada dan hidup karena nalar, karena akal budi. Manusia berbeda dengan alam, berbeda dengan binatang, serta yang lainnya. Sebab manusia bisa berfikir. Manusia memiliki rasionalitas. Maka dimulailah kepercayaan  terhadap rasio manusia. Modernisme. Babak baru antroposentrism, “manusia sebagai pusat alam semesta". 

Satu abad Rene Descartes mengeluarkan cogito ergo sum, penguasaan rasionalitas manusia di atas segalanya. Dunia mengalami perubahan menakjubkan. Penguasaan manusia terhadap alam, penemu-penemuan, dan ditegaskan oleh revolusi industry inggris (1750-1850) dan revolusi perancis (1789). Kemerdekaan individu dilegalkan melalui pemerintahan demokrasi. Penciptaan dan distribusi benda diberi wadah melalui kapitalisme.

Selanjutnya bisa kita mempelajari dan perlu diperiksa melalui puisi “Dia hanya dada" salah satu bait ketiga berikut: dia hanya dada yang ingin berlari dalam hujan / belajar memberi parfum pada kenangan / memanggil kupu-kupu plastic / memanggil bunga plastic / menyatakan cinta juga / penuh ibu dan ayah mati. 

Nalar manusia, yaitu logika, telah mampu menunjukan bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Manusia dapat mengubah alam. Manusia dapat mereproduksi alam untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan hidup.

Dahulu kala, kita mengahui sebelum ditemukannnya plastic, orang-orang perlu keluar rumah untuk dapat menikmati keindahan kupu-kupu dan bunga. Kini di dalam rumah, di kamar pribadi, di almari kaca orang-orang dapat memanggil kupu-kupu plastic atau memangil bunga-bunga plastic. Tentang keindahan-nya, tiruan sering kali melebihi keindahan alam. Contoh sederhana, (menurut penulis) taman di pedalaman Blitar ternayata masih kalah indah dan rapi dibandingkan dengan hutan buatan di TMII Jakarta.

Akan tetapi, efek dari alam buatan manusia itu, kini manusia jadi semakin memiliki ketergantungan terhadap ciptaannya sendiri. Otak dan nalar manusia sudah terkalahkan dan bahkan terbungkam dengan benda yang tiruan atau instan yang mana semua akses dan keinginan mereka terima jadi tanpa mempertimbangkan nalar dan otak manusia sama sekali. Kita tahu alat elektronik sudah bisa dikatakan mengalahkan akal dan nalar pada manusia. Banyak sekali orang dan manusia menginginkan sesuatu hanya dengan klik dan pilih.

Betapa instannya semua fasiltas manusia modern saat ini. Padahal, jika mengaca kembali semua yang kita pilih dan klik adalah buatan manusia sendiri yang mana mereka menginginkan mati jika tidak sesuai dengan keinginan.

Namun kini sudah jarang, bahkan tidak ada yang mempunyai nalar atau pemikiran seperti itu.

Lantas pertanyaan yang muncul saat ini, dimana kabar kenyataan antroposentrisme nalar saat ini? Apakah semua tergantikan dengan tinggal klik dan pilih? Atau sudah menjadi budaya yang harus serba instan?

Manusia telah meninggalkan abad pertengahan,di, di mana lembaga religius dalam kekuasaan Negara memonopoli pengetahuan. Masa silam hanyalah menjadi nostalgia yang sejuk, seperti larik puisi, /memberi parfum pada kenangan/. Begitulah kenyataan saat ini semua telah menjadi kenangan dan tempat mampir saja, tanpa kita harus berfikir dan menelaah lebih dalam, untuk setiap apa yang ada di masa silam. Seperti kata pada selarik puisi, /penuh ibu dan ayah mati/. Manusia menikmati hasil kenyataan antroposentrisme, berkuasanya nalar dalam kehidupan manusia. Berkuasanya nalar di dalam sejarah alam.

Penulis:
M. Saifuddin Zuhri

No comments

Powered by Blogger.