Header Ads

ads header

Melacak Jejaring Ulama’ Diponegoro Dalam Membangun Spirit Intelektual Santri Era Modern

Melacak Jejaring Ulama’ Diponegoro Dalam Membangun Spirit Intelektual Santri Era Modern
Oleh : Muhammad Alwi Hasan

Perang Jawa merupakan peristiwa perlawanan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial. Dampaknya dirasakan oleh sekitar 2.000.000 penduduk, sepertiga dari total penduduk pulau Jawa dan merusak hingga sekitar seperempat dari seluruh areal pertanian yang ada. Demi menghukum pangeran Diponegoro, Belanda Mengerahkan 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit pribumi serta 2/3 dari 3.145 tentara bantuan yang didatangkan langsung dari negeri Belanda.
Dari perang ini Belanda menghabiskan biaya sebesar f. 25.000.000 gulden. Meski menghabiskan biaya yang tidak sedikit Belandalah yang memperoleh kemenangan, dan Kesultanan Yogyakarta harus membayar ganti rugi perang dengan menyerahkan wilayah Mancanegara kepada pemerintah Hindia- Belanda. Mantan tentara Belanda, De Stures mencatat 15.000 serdadu Belanda tewas dan menghilang selama peperangan.
Dari data diatas bisa terlihat meski dalam perang Jawa pangeran Diponegoro dan pasukannya mengalami kekalahan, namun mereka berhasil membuat pasukan Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Ini dikarenakan sosok dari Pangeran Diponegoro yang mampu menanamkan jiwa patriotisme ke seluruh pasukannya, serta didukung oleh pasukan yang terdiri dari kalangan Santri dan Kiai.
Selain terkenal sebagai tokoh perjuangan atau pahlawan pangeran Diponegoro memang terkenal juga sebagai Ulama yang religius dan nasionalis. Putra Hamengkubuwana III dengan nama lahir Bendara Raden Mas Mustahar ini tercatat juga pernah nyantri atau mondok di Kiai Taftazani Kertosono. Lalu, Pangeran Diponegoro juga belajar Tafsir Jalalain dengan KH Baidlowi Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. Maka tidak heran bahwa dalam kamus historiografi perjuangan Pangeran Diponegoro selalu ada Santri ataupun Kiai dan juga pesantren sebagai tempat perjuangan dalam melawan Penjajah. 

Jejaring Ulama’ Diponegoro Dalam Membangun Spirit Intelektual Santri Era Modern

Menurut Peter Carey, ilmuwan yang puluhan tahun meneliti Perang Diponegoro, perjuangan sang pangeran menandakan batas zaman. Sebelum Perang Diponegoro (disebut pula Perang Jawa) pecah pada 1825 M, hubungan antara pihak kolonial Eropa, termasuk Belanda, dan para raja Jawa cenderung setara. 
Perang-perang yang sebelumnya terjadi merupakan (latar) suksesi para penguasa lokal, yang di dalamnya Belanda terlibat dengan menjalankan politik pecah belah (devide et impera). Caranya ialah bekerja sama dengan seorang ningrat tertentu untuk menduduki tampuk kekuasaan sembari memusuhi ningrat saingannya.
Sejak berakhirnya Perang Diponegoro pada 1830, masuklah Nusantara ke tatanan kolonialisme seutuhnya. Belanda menjadikan raja-raja Jawa hanyalah bagian dari birokrasi kolonial. Hal ini terutama sejak diberlakukannya sistem tanam paksa yang dipelopori gubernur jenderal van den Bosch.Sistem ini memperkaya Belanda sekaligus menyengsarakan rakyat nusantara. Barulah kemudian memasuki awal abad ke-20, Belanda kembali mengalami perlawanan besar melalui gagasan modernisme Islam dan nasionalisme di Nusantara.
Keberanian Perjuangan Besar Pangeran Diponegoro dan pasukannya Tersebut, tentu tidak lain didasari pada Spiritualisme, semangat suci untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk menjalankan tugas sebagai manusia, menjalankan tugas sebagai Khalifah di bumi. Warna perjuangan Diponegoro memang sangat kental dengan nuansa Islam, hal ini nampak dari begitu banyaknya dukungan dari kalangan pesantren dan kiai yang berada di dalam barisan laskar Diponegoro.
Kehadiran para Kiai seperti Kiai Kwaron dan Kiai Mojo di selarong menandakan agar perjuangannya tidak menyimpang dari Al-Qur’an. Nuansa Islam juga nampak dalam barisan laskarnya yang diberikan nama-nama seperti militer Turk, Menggelorakan Jihad dan perang sabil. tidak mengherankan jika ditarik dari banyak nya Pondok pesantren dimasa modern ini, maka akan banyak ditemukan pondok pesantren dan Kiai – Kiai nya yang berhubungan dengan para laskar Diponegoro. Sehingga mampu membangun Intelektual santri dimasa ini dari jalur sanad keilmuan.


__________________________________________________
 Zainul Milal Bizawie, “Jejaring Ulama Diponegoro” (Ciputat Baru, Yayasan Compass Indonesiatama, 2019), 1.
 . Ibid, 2. 
 https://www.nu.or.id/nasional/pangeran-diponegoro-adalah-santri-belajar-ke-banyak-kiai-DGuju. 
 https://www.republika.id/posts/39342/pangeran-diponegoro-santri-pejuang-yang-berlatar-keraton. 
 Ibid. 
 Zainul Milal Bizawie, “Jejaring Ulama Diponegoro” (Ciputat Baru, Yayasan Compass Indonesiatama, 2019), 11.
 Ibid, 11.
 Ibid, 11. 


No comments

Powered by Blogger.