Header Ads

ads header

Telaah Paradigma IPNU-IPPNU dari Putera Hingga Jadi Pelajar

Sumber:  www.setneg.go.id

18 tahun silam, mungkin para aktivis sekarang baru menghirup udara segar dunia, sejarah besar tertulis kembali bahwa akronim IPNU dan IPPNU menjadi pelajar lagi yang sebelumnya berakronim putera dan puteri. Perubahan akronim tampak sederhana, hanya putera berubah jadi pelajar Tetapi pelaku sejarah, perubahan itu mempunyai kenangan yang membekas, begitu berat menerima kenyataan.

Betapa tidak, gerakan yang ketika itu sudah terbangun, menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang subur, harus menerima konsep revolusioner yang tak terkira dari sebelumnya.

Saya tarik tulisan dari cerita awal dikarenakan apa yang terjadi hari ini tidak terlepas dari kisah masa lalu, yang tepatnya saat kongres XIV IPNU dan Kongres XIII IPPNU yang dilaksanakan pada 18-24 Juni 2003 di Asrama Haji Sukolilo SurabayaAkan tetapi yang sampai hari ini, perjalanan gerakan IPNU-IPPNU masih di sedia kala, belum ada tanda-tanda yang signifikan sebagaimana harapan.

Penulis adalah bagian pelaku sejarah yang pada  awalnya menolak perubahan akronim itu. Cuman, saya tidak terlibat di kongres, sehingga meminta pertanggungjawaban siapapun yang ikut konggres. Namun, pemberontakan itu tidak punya arti. Akan tetapi komitmen tak pernah surut. Ketika di arena pelatihan Lakut, penulis masih memberontak ke Pimpinan Wilayah, namun lagi-lagi tidak ketemu jawaban yang memuaskan.

Di kemudian hari sewaktu penulis menjadi salah satu bagian dari Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Timur, diskursus itu tetap digulirkan dengan harapan di kongres berikutnya ada kaji ulang dengan argumen, nalar yang meyakinkan dengan didukung fakta, uji empiris di lapangan. Tapi cerita tetap, pintu sudah dikunci. Kita tidak tahu sebenarnya yang terjadi kepentingan politik ataukah demi masa depan yang lebih baik.

Konsekuensi

Telah disinggung di atas, bahwa perubahan akronim membawa dampak yang besar. Tokoh utama penggerak perubahan dari internal organisasi adalah Rekan Mujtahidur Ridho (selanjutnya terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU, yang sebelumnya dijabat oleh Rekan Abdulloh Azwar Anas yang sekarang menjadi bupati Banyuwangi 2 periode). Rekan Edo, sapaan akrab Mujtahidur Ridho selaku garda terdepan perubahan, menawarkan pemikiran sebagai konsekuensi logis. Tertulis dalam sebuah bukunya (maaf judul buku sudah lupa) bahwa yang penulis menggaris bawahi 


"Paradigma lama = perangkat lama adalah logika benar; Paradigma baru = perangkat lama adalah logika salah; dan Paradigma baru = perangkat baru adalah logika tepat".

Penerjemahan pemikiran ini bahwa akronim IPNU-IPPNU dari yang lama putera menjadi pelajar mempunyai konsekuensi perubahan mendasar. Struktur perangkat organisasi, di tingkatan ranting seharusnya ada kajian dan berubah dengan basic komisariat di lembaga pendidikan. Orientasi program yang awal bergerak di sosial masyarakat, dari rumah ke rumah masyarakat, karena target kader berada di kampung, gang, pesantren  desa dan lain, seharusnya sekarang orientasi program memperhatikan kebutuhan pelajar.

Efek lain masih banyak yang tak mungkin tertulis semua. Di lihat dari sini, beban Pimpinan IPNU maupun IPPNU ketika itu terasa berat, apa yang kita tawarkan kepada lembaga pendidikan ketika IPNU-IPPNU membentuk komisariat, program apa yang menarik untuk para pelajar agar mereka mau ikut kegiatan IPNU-IPPNU.

Belum lagi kita dihadapkan oleh kader awal yang terserap dari desa. Tidak mungkin kita memecat mereka, itu menjadi dilema tersendiri.

Masa transisi

Sebagai penengah situasi dan kondisi disediakanlah toleransi waktu untuk menyiapkan diri, menyusun dan melangkah menuju ke ranah pelajar. Sedikit demi sedikit, strategi, program, dan basic organisasi diusahakan ke arah sana. Tetapi dari berjalannya waktu tak kunjung mendapatkan tanda-tanda yang lebih baik. Sedangkan isu akronim putera menguat di baris grassroot ketika mendekati kongres berikut.

Menyikapi hal ini, Nur Hidayat selaku demisioner Ketua PW IPNU Jatim dan salah satu kandidat Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU, menarik kordinat keberadaan IPNU, bahwa tidak mungkin kita menganulir keputusan kongres sebelumnya. Selanjutnya menawarkan pemikiran bahwa IPNU memang akronim pelajar, tetapi dengan tafsir pembelajar. Sehingga pelajar, santri, komunitas remaja tercover semua.

Mencoba memahami

Bahwa sebenarnya aktor utama perubahan itu adalah PBNU ketika itu, dalam hal ini pengurus tanfidziah yang berperan. Jujur aja, awalnya penulis tetap menolak dengan alasan IPNU tidak bisa diselesaikan oleh tanfidziah aja, IPNU adalah badan otonom NU, sedangkan pimpinan NU ada syuriah, berarti harus dilibatkan juga.

Tetapi sekarang kita husnuddhon aja, mencari jawaban di alam kenyataan, bahwa keputusan buldozer itu tidak salah, langkah yang tepat. Sebenarnya, jika kita serius, 15 tahun ini cahaya terang, kader NU yang berangkat dari IPNU menjadi tokoh di semua lini. Bukan sekedar ranah politis, tetapi ranah ilmuwan semua jurusan bisa dilahirkan.

Tantangan yang Perlu Diselesaikan

IPNU-IPPNU Kecamatan Ngronggot, sebagaimana fakta sekarang, sebenarnya adalah paradigma masa putera dan belum ada penyesuaian yang maksimal. Penulis terlibat dalam dikursus dan penyusunan landasan program yang masih berlaku ini. Sehingga tingkatan tahapan apa yang terjadi mudah untuk tahu titik errornya.

Lebih lanjut, bagaimanakah upaya kita untuk menjawab harapan PBNU, paling tidak di tingkat kecamatan? Inilah yang perlu kita realisasikan bersama. Semangat belajar yang tergabung di organisasi IPNU-IPPNU menjadi kewajiban untuk selalu ditabur, dipupuk, dan didampingi untuk tercapai cita-cita.

Bagaimanakah bentuk aplikasi?

Program paling rendah adalah buat kelompok-kelompok study untuk menyelesaikan, mendalami, mengembangkan dan syukur-syukur tercipta karya nyata dari semua disiplin ilmu, khususnya eksakta.

Posisi Pimpinan IPNU-IPPNU sebagai pendamping. Kalau tidak mampu, bisa melibatkan alumni yang kompeten di bidangnya atau membuka komunikasi kemunikasi ke Pergunu. Singkat kata, mari bersama-sama kita garap ranah IPNU-IPPNU dalam rangka tercipta sejuta ilmuwan di masa mendatang.[*]


Penulis : Polo (Alumni IPNU Anak Cabang Ngronggot)
Editor : Syarif Dhanurendra

3 comments

Iqbal Zakaria said...

sangat menginspirasi..hati saya tergugah...namun di balik ini bagaimana dengan SDM yang rendah???mereka tak mampu berpikir lebih jauh bahkan trrkadang midah lupa..

Syarif Mugiwara said...

Ini salah satu bentuk perhatian alumni kepada PAC. Mungkin bisa langsung komunikasi dengan yang bersangkutan. Mas Polo ini alumni PAC Ngronggot, asal Banjarsari yang sekarang hidup di Aceh. Jadi komunikasi hanya bisa lewat udara.

Unknown said...

Klo utk sdm anggota secara umum,memang ada lroblem,justru problem itulah posisi peran ipnu-ippnu utk menyelesaikan.kita sadar dengan kondisi pelajar,khususnya yang tergabung di ipnu-ippnu.nalar orang dengan tulisan buku bagai langit dan bumi.kada banyak faktor yang mempengaruhi,dari bentuk kurikulum ajar musti kita pertanyakan kemudian guru/fasilitator jg tdk mengetahui kondisi riil pelajar atau tahu tp tdk mampu menyelesaikan persoalan,pelajar gak nyambung,akhirnya terjadilah lingkaran syetan.maka dari itu,saya berharap ipnu-ippnu mampu menawarkan jembatan agar pelajar bisa sampai di penghantaran yang memuaskan dan bisa jadi harapan terbukanya berkah ciptaan Tuhan dg pendekatan disiplin keilmuan secara keseluruhan.

Powered by Blogger.