Header Ads

ads header

Pelajar Millenial, Ada Apakah?

Sumber foto: @ipnuippnujamannow

Pelajar merupakan waktu dalam usia yang konsentrasi/sibuk dengan dunia tulisan, bacaan, kajian, hafalan, permainan, diskusi dll. Tiap hari bertarung dengan waktu dengan belajar. Ketika dalam waktu ini terkadang sering membosankan, apakah dikarenakan tertekan oleh keadaan, tidak nyambung dengan yang dihadapi atau memang malas dengan dunia itu?

Fenomena ini adalah kebiasaan yang terjadi sepanjang kisah perjalanan dunia pelajar. Mereka seakan menjalani kehidupannya kurang punya harapan dengan apa yang di serapnya. Keadaan ini tampak ada miss understanding, sehingga kehidupan dijalani hanya sekedar menghabiskan waktu, sekedar dapat uang jajan, tidak nampak oleh orangtua atau hanya sekedar untuk jumpa dengan teman-teman.

Di sisi lain, ketika berada di lembaga, mereka juga disuguhkan kebiasaan yang bagi mereka menjenuhkan juga. Hal ini sangat kentara dengan kenyataan bahwa lembaga pendidikan sudah menjamur tetapi jarang kita dengar dengan prestasi yang diperoleh. Inovasi dengan wujud hasil pembajaran masih berkutat pada text book semata, atau bahkan lebih parah lagi capaian teks tidak terpenuhi.

Dari sini, investasi negara apakah mempunyai harapan ketika tunas-tunas bangsa itu sendiri mengidap penyakit seperti ini? Pembentukan karakter bangsa pupus oleh kenyataan bahwa subyek pelajar hanyalah menjalani kebiasaan untuk menunggu umur menua tanpa harapan/mimpi yang bisa diwujudkan.

Millenial adalah dunia yang penuh tantangan. Tidak ada lagi batas negara, norma, agama, bahasa, klasifikasi umur, status sosial dll. Semua punya kesempatan yang sama untuk bertutur sapa, mengakses apa yang disuka, bertransaksi bebas patas tanpa kenal waktu. Pelajar berhadapan dengan dunia bebas. Hari ini kita sudah disuguhkan dunia itu.

Menyikapi hal ini, posisi guru penuh dengan dilematis, tantangan yang cukup menantang, perhatian lebih dengan semangat kasih sayang. Guru tidak bisa membebankan pokok soal ada pada pelajar walau subyek pendidikan adalah pelajar itu sendiri.

Di lain hal, dalam mengejar olah nalar kita harus mampu menarget daya pikir dalam inovasi kebutuhan manusia. Jika kita melambat berarti kita sudah ketinggalan, padahal kunci dasar untuk meraih adalah dunia pelajar, dunia kaji, dunia data dan analisa.

Ingat sabda Nabi "man arodad dunya fa'alaihi bil ilmi waman aroodal akhirot fa'alaihi bil 'ilmi waman arooda huma fa'alaihi bil ilmi." Barang siapa menghendaki dunia maka harus dicapai dengan ilmu, barang siapa menghendaki akhirat harus dengan ilmu, barang siapa menghendaki keduanya harus dengan ilmu juga.

Logika

Sampai kapan kita terjebak oleh mindsett global atau paling kecil pemikiran di luar diri kita yang tanpa kita tahu pemikiran di luar diri kita itu madu atau racun, menguntungkan atau merugikan. Apakah kita pernah merasa seperti ini, atau justru kita tidak punya pemikiran, konsep, prinsip, pandangan tersendiri, atau sebenarnya ada tapi miskin analisa, data atau bahkan tidak terbayangkan sama sekali?

Akal sebagai karunia, modal dasar tanpa harus beli telah ada bersamaan dengan manusia itu terlahir. Tetapi fakta menunjukkan keaneragaman pemikiran tiap individu manusia itu sendiri. Kenapa bisa terjadi? Kalau keanekaragaman itu bisa dimengerti akal sehat, maka logis dan tepatlah nash seperti ini.

Tetapi, jika kita punya akal tapi tidak berfungsi sebagai peranannya, itu yang patut dipertanyakan. Apalagi kelas kita kok ikut-ikut tanpa tahu, mau kemana, tujuan, apa yang kita peroleh, dll.

Kemerdekaan pemikiran adalah hak azazi umat manusia. Kita berhak untuk menolak atau menerima pandangan orang lain. Bahkan ajaran agama itu sendiri bisa dipertanggungjawabkan secara nalar dan akal sehat, walau dalam titik tertentu ada juga yang sulit dinalar dan memang di luar nalar.

Dalam kasus di luar nalar, bukannya tidak bisa dinalar, tetapi tingkatan nalar itu sendiri terkadang tidak mampu untuk menjangkau sehingga yang tampak "tidak nalar".

Alloh memberikan anugerah akal untuk digunakan oleh manusia untuk mendefinisi, berfikir, mencari tahu tentang apa yang diciptakan-Nya,yang pada akhirnya tahu siapa yang Maha Mencipta. Kemudian mengolah sebagaimana harapan "limaslahatil ummah"

Memanfaatkan ciptaan untuk mendukung peradaban manusia. Meneliti dengan teliti. Mengkaji untuk memahami tentang manusia dan kemanusiaan, alam dengan kandungan yang dimiliki, cakrawala dengan misteri yang tersimpan.

Selanjutnya, membuat satu gugusan yang tak terpisahkan. Keberlangsungan di bumi dan cakrawala dipersatukan dengan persenyawaan yang saling terhubung. Kemudian turunlah perintah ke manusia sebagai khalifah, pengelola  alam. Dan untuk mendukung itu, akal dikaruniakan.

Terus yang menjadi masalah, apakah manusia sudah melakukan sebagaimana perintah? Apakah kita sudah menggunakan akal kita untuk hal itu? Apakah kita masih terjebak hal-hal lain atau kita terjebak yang mahdhoh dan ghoiru mahdhoh-nya soal kekuasaan semata, atau soal surga dan neraka?

Masa Depan Generasi Pelajar

Di tengah virus Covid-19, pelajar tetap optimis, tak takut dengan issu yang lagi booming. Justru seharusnya yang terjadi malah sebaliknya, pelajar berfikir, bagaimanakah virus itu, tantangan yang perlu dipelajari, diteliti, identifikasi biometrik.

Ranah konsentrasi biologi mendapatkan kemajuan yang signifikan. Sebagai kelanjutan tantangan Al Qur'an yang menyuruh untuk meneliti nyamuk, walau virus ini sifatnya negatif. Sebenarnya, keilmuan itu tergantung siapa yang mempelajari, jika yang terjadi non Islam, beginilah kejadian. Tetapi jika dari awal kita terdepan dalam pendalaman, mungkin yang terjadi akan lain. Kita musti tahu pola perkembangan biometrik yang dengan jenis lain. Ketika muncul tantangan yang sifatnya negatif, tentunya kita tidak gelagapan seperti ini.

Kita pasti mampu menjawab dengan analog penelitian yang sepadan dan mampu dengan cepat menemukan penyelesaian. Hari ini pelajar Islam masih terkena dikotomi keilmuan, sehingga kita alergi mempelajari pesan Tuhan tentang apa yang ada di alam.

Umat islam masih dijejali halal dan haram, surga atau neraka, takfiri, berkelahi dengan sesama saudara dan lain-lain.

Ketika covid menyebar, umat Islam kena dampak, rutinitas agama jadi terganggu. Apakah seluruh umat Islam tidak berdosa? Al Ghozali mendefinisikan ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah.

Fardhu kifayah yang kasat mata tiada arti, jika tidak ada yang mempelajari apa yang terjadi. Covid-19 bukanlah satu-satunya ancaman, masih banyak sisi lain yang mungkin terjadi. Apakah dikotomi tetap dilanjut, umat Islam sibuk surga dan neraka?

Ekonomi sebagai simbol kemakmuran umat. Apa tidak perlu dipikir, bagaimana upaya memberikan kemakmuran umat yang secara umum di bawah kemiskinan? Apakah seluruh umat Islam berpikir kekuasaan sebagai jawaban atas persoalan?

Paradigma umat harus dibangun dengan tepat, memperhatikan persoalan, tantangan, hambatan  dan lain-lain. Langkah penyelesaian tentunya selaras dengan persoalan.

Pelajar hari ini mempunyai tantangan yang cukup menantang, khususnya terkait dengan bidang akademik, sudah sampai mana hasil belajar kita?[*]

Penulis : Samsul Ma'arif alias Polo (Alumni IPNU Anak Cabang Ngronggot)
Editor  : Badrus Sholeh 



No comments

Powered by Blogger.