Header Ads

ads header

Benang Merah Antara Pendidikan dan Power Rangers

Sumber: https://www.geek.com
Saat kopiku berputar pada secangkir tuangan inspirasi. Saat aku duduk melingkar bersamamu, mengingat pada candamu yang saat itu kamu tertawa terpingkal-pingkal. Saat kamu tidak sengaja menyengol buku bertulis "apa itu pendidikan?" Teringat aku pernah baca itu, ada apa dengan buku itu? Kenapa buku itu  terbawa dalam anganku? Apa pendidikan itu sebenarnya? Kenapa harus ada pendidikan?

Yaaah,.. Seketika itu kopiku berkata: dalam pandangan Reinhold yang pernah saya cukil waktu itu melahirkan berbagai pertanyaan mendasar pada kata itu, seputar apa dan bagaimana manusia yang sebenarnya itu. 


Sebelum aku terlalu lari ke pendidikannya, saat kuputar gelas, aku melihat manusia saat ini dalam keadaan keraguan. Yaah,.. Keraguan memilih antara baik dan buruk. Namun, sebenarnya yang menjadikan pertanyaan manusia dilahirkan sebagai baik atau buruk, ya, apakah sebenarnya manusia dilahirkan dalam buruk atau justru sebaliknya? Aku berfikir sebenarnya pada mulanya ia bersifat baik. Selang beberapa hari atau bulan atau tahun berubah menjadi buruk sebab ada faktor internal atau eksternal yang menjadikannya seperti itu.

Jika manurut saya, maka memang manusia terlahir diri yang baik. Namun, yang saya tanyakan bagaimana kualitas sifat baik itu? Hal apakah yang bisa mengubah manusia  menjadi buruk, bahkan sama sekali kehilangan nilai baik yang dibawanya?


Dari sekian  pertanyaan-pertanyaan yang sama, berlaku pula ketika aku mengatakan manusia dipandang terlahir sebagai diri yang memang mempunyai sifat bermacam-macam, bahkan buruk. Apakah sifat buruk manusia itu potensial bisa diubah atau sesuatu yang tertanam? Bagaimanakah sebenarnya sifat-sifat buruk yang ada dalam diri seorang manusia.?


Dalam pertanyaan Reinhold dan diriku saat ini, tentu bukan lagi pertanyaan-pertanyaan yang pertama yang muncul dalam benak fikiran manusia. Hanya saja mereka (pertanyaan-pertanyaan itu) lagi mati suri, ya..


Bahkan, sudah berapa ratus tahun kegelisahan atas persoalan tersebut?

Dari sekian sejarah yang ada misalnya, kita mendengar kata bangun, bangun dan bangun. Manusia yang baik dan bermoral dan buat kisah-kisah baik atau justru sebaliknya?

Kemudian mula-mula manusia menjadi khalaf atau jahat. Terdapat pula awalnya lembut bagai tepung, lama-lama keras menjadi batu alias jahat setelah sekedip mata. Atau justru sebaliknya, berubah menjadi baik total.


Di sini, dari sekian lembar atau tulisan yang diamati, baik-buruk bagi manusia agaknya bersifat potensial dan bukan bagian dari eksistensi manusia saja. Terutama karena dalam hidupnya manusia memiliki sesuatu yang tanpa disadari dimiliki semua orang, yakni kebebasan.


Dalam aktualitasnya, kebebasan manusia memang bersifat dibatasi, atau terbatas oleh kebebasan manusia lain di luar sendirinya. Akan tetapi, dalam keterbatasannya, ia akan tetap memungkinkan amnesia untuk memilih yang terbaik dan membuat pilihan-pilhan dalam hidupnya termasuk dalam persoalan baik dan buruk. Hanya saja, meski manusia memiliki independensi serta kebebasan yang membuatnya dimabuk dan yang bisa semena memilihnya, bersamaan dengan itu pula, manusia selalu menjadi insan yang terpengaruh oleh sikon (situasi dan kondisi) yang telah berlangsungbdi sekitarnya. Situasi di mana manusia dalam sekejap berubah menjadi diri sebaliknya, layaknya Power Rangers yang berubah seketika diserang musuh. Artinya manusia dalam independensinya  bisa melakukan buruk atau sebaliknya.


Nah, dari selembaran narasi di atas mengingatkan aku bahwa dari sinilah  pendidikan menjadi to be urgent, guna meningkatkan kesadaran-kesadaran hidup menjadi hal yang dipandang penting oleh berjalannya waktu. Meski sejauh berjalannya masa ke masa, waktu ke waktu menjadi upaya peningkatan dan pelestarian pemikiran dan gagasan-gagasan nilai, kemudian kehidupan manusia menjadi lebih baik.


Pendidikan kini dinilai lebih banyak problem kemanusian ketimbang menjadi solusi bagi kemanusian yang sempurna. Lantas, bagaimana yang kita fikirkan tentang sebenarnya manusia dalam kebaikan itu? Bagaimankah pula dengan pendidikan kini?


Jika kita tahu dan memandang bahwa manusia bisa menjadi lebih baik sebab adanya pendidikan, hal itu tentu membuat semakin garuk kepala. Memang ada benarnya dan fakta membuktikan kalau pendidikan itu penting, bahkan menjadi bagian dari fakta dan realita hidup manusia. Betapa urgentnya ketika harus berpendidikan, karena setidaknya dengan pendidikan kita dapat tahu apa artinya hidup dan mau ke mana kita menjalani hidup?  Namun juga keburukan selalu bukan  diri manapun, melainkan bagaimana kondisi  lingkungan tempat tinggal di mana masing-masing diri kita tingal dan berada.


Meski jika kita lihat bahwa pandangan tersebut agaknya menyimpang  dan menjadi sangat berbeda dengan pandangan eksistensialisme, yang mengatakan betapa  baik buruk dalam pandangan mereka selalu tidak lain berasal dari pilihan bebas manusia. Dari kata itu, tak lain bahwa hidup yang ada selalu menjadi rentan dan terbatas. Sama rentan dan terbatasnya pilihan kebebasan manusia.


Namun, jika dilihat semua bukti dan lembaran problem diatas tadi, tidak cukup jika dijadikan patokan untuk mengukur alasan dan kebenaran dari perbuatan kebaikan dan keburukan yang kita lakukan. Oleh karena itu, sama halnya, tidak ada alasan dengan membuat keyakinan bahwa pendidikan sangat mampu mengubah hidup manusia menjadi baik. Kita tahu dan dapat menganalisis sehebat dan sebagus apapun pendidikan dilangsungkan dan berdiri, jika dari pihak sang fa’il atau manusianya tidak ingin baik dengan kesadaran bin nafsi atau sendirinya, ia tidak akan pernah bisa menjadi manusia to be excellent atau sepenuhnya baik.


Lantas jika secangkir kopi dan tegukan yang diminum mengingatkanku pada Aristoteles, yang berkata: sepanjang waktu manusia selalu terlihat baik di satu sisi, dan buruk di sisi lain. Apakah itu artinya manusia bisa baik  dan bisa buruk atau justru sebaliknya? Dalam cita-citanya yang selalu baik, manusia justru kadang dinilai hidup dengan cara yang begitu buruk.


Aku jadi bingung dari ungkapan Aristoteles di atas tadi (pembaca juga bingungkan? Haha). Hanya saja, dari ungkapan Aristoteles, kita bisa menemukan bagaimana pandangan dan sikap Aristoteles tentang baik-buruk bagi manusia.


Dari situ, aku mengatakan dan dapat menarik arti bahwa, “Saya mencintai Aristoteles, tapi saya lebih mencitai kebenaran “.


Lantas apakah sebenarnya maksud semua ini? Bagaimana sikap yang mesti kita pilih dengan adanya pendidikan? Apakah karena baik dan buruk adalah pilihan bebas kehendak manusia, sehingga pendidikan tidak menjadi hal penting  untuk dilakukan? Sedangkan, sehebat apapun seorang professor, bahkan filsuf eksistensialisme dalam soal pandangan independensi, tetap saja ia sendiri belajar dan menerima sesuatu yang bernama pendidikan.


Oleh karena itu, berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dan bayangan-banyangan kata di atas semua itu, kopiku mengatakan dan menginginkan bahwa pendidikan tetap menjadi sanggat urgent dan berperan penting bagi kehidupan semua manusia yang masih bernafas. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan tingkat kesadaran dan pengetahuan masing-masing makhluk yang bernafas, khususnya manusia. Pengetahuan akan diri, dunia dan hidupnya, tidak selalu benar. Sebagian individu bahkan hidup dengan pengetahuan yang serba rancu. Dan lebih parahnya lagi, memiliki pengetahuan-pengetahuan yang salah di dalam menyakini tentang kebaikan.


Untuk itu, saat kopiku mengatakan  bahwa sebenarnya manusia ingin menjadi baik dan tahu akan semua itu, hanya saja karena kurangnya pengetahuan mengatakan education is many urgent. Sehingga ia kemudian terjebak pada zona nyaman dalam perilaku-perilaku yang sebaliknya.[]



Penulis: 
M. Saifuddin Zuhri (Kader IPNU Ranting Juwet alumni Lakmud 2014)

Editor: 
Syarif Dhanurendra

No comments

Powered by Blogger.